Jumat, 14 November 2008

Semangkuk Bakmi Panas

Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tdk membawa uang.
Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan
semangkuk bakmi, tetapi ia
tdk mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata "Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?" " Ya, tetapi, aku tdk membawa uang" jawab Ana dengan malu-malu
"Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu" jawab si pemilik kedai. "Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu".

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang. "Ada apa nona?"
Tanya si pemilik kedai.
"tidak apa-apa" aku hanya terharu jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.

"Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi !, tetapi,? ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah"
"Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri" katanya kepada pemilik kedai.

Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata "Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya"

Ana, terhenyak mendengar hal tsb. "Mengapa aku tdk berpikir ttg hal tsb? Utk semangkuk bakmi dr org yg baru kukenal, aku begitu
berterima kasih, tetapi kepada ibuku yg memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.

Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yg hrs diucapkan kpd ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah "Ana kau sudah pulang, cepat masuklah, aku
telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tdk memakannya sekarang". Pada saat itu Ana tdk dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kpd org lain disekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan
kepada kita. Tetapi kpd org yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup Kita.

RENUNGAN:

BAGAIMANAPUN KITA TIDAK BOLEH MELUPAKAN JASA ORANG TUA KITA.
SERINGKALI KITA MENGANGGAP PENGORBANAN MEREKA MERUPAKAN SUATU PROSES
ALAMI YANG BIASA SAJA; TETAPI KASIH DAN KEPEDULIAN ORANG TUA KITA ADALAH
HADIAH PALING BERHARGA YANG DIBERIKAN KEPADA KITA SEJAK KITA LAHIR.
PIKIRKANLAH HAL ITU??
APAKAH KITA MAU MENGHARGAI PENGORBANAN TANPA SYARAT DARI ORANG TUA KITA?

HAI ANAK-ANAK, TAATILAH ORANG TUAMU DALAM SEGALA HAL, KARENA ITULAH YANG INDAH DIDALAM TUHAN.

Kamis, 13 November 2008

Sunyi dalam ramai ramai dalam sunyi

Jika perjalanan tafakkur kita menembus batas-batas cakrawala, menapak
langit-langit hingga sidratul Muntaha, pastilah berakhir dengan
keterjengahan hati kita, bahwa segalanya menuju, demi dan untuk Rabbul
Izzah, Allah Ta'ala. Itulah awal perjalanan ke-Ikhlasan kita, disaat
tafakkur sunyi menapakai "Inna Sholaati wa-Nususkii wa-Mahyaaya
wa-Mamaatii Lillahi Robbil 'Alamin?"(Sesungguhnya sholatku, ibadahku,
hidup dan matiiku hanyalah untuk Allah?"

Menuju Arasy kita bertemu dalam hamparan Liqo'Allah, dalam sunyi paling
sunyi, karena segala hal selain Allah sirna, dan yang ada hanyalah Wajah
Allah. Tetapi dalam sunyi paling sunyi, ghuyubul ghuyub itu, betapa
tiada terperi,berhamparan cahaya yang meramaikan, lebih ramai dari

keramaian apa pun juga, karena KemahaanNya Yang Rahman bersinggasana
mengatur semesta. Seluruhnya berada dalam genggamnya yang serba sunyi
senyap dalam ghuyubul ghuyub, dan ketika dilepaskannya dalam hamparan
keleluasaanNya, betapa ramainya dalam taburan tasbih kepadaNya, atas
Kemahasucian asma-asmaNya.

Kita baru memahamiNya ketika kembali ke dunia nyata, dengan segala
keramaian peradaban, kesemrawutan manusia, tumpukan-tumpukan problema
yang silih berganti antara cahaya dan kegelapan, bahkan suara-suara,
rupa warna tiada tara, toh berujung pada kesunyian hati dalam sudut
paling lorong, ada denyut jantung terus bersamaNya.

Bagaimana tidak? Yang nyata dalam fenomena, yang tampak oleh mata
kepala, yang terdengar oleh telinga, yang teraba oleh indera, telah
membawa tarikan pesona yang mealpakan kita di lembah Ghafalat, yang
dibuai oleh tarian-tarian Syahawat, telah melemparkan kita di batas
Hijab: Kita telah berada dalam jurang Jinabat. Dan Rumah Allah melarang
orang-orang junub untuk memasukinya, kecuali telah bersuci dari Jinabat
Ghafalat (kealpaan pada Allah)-nya.

Bertanyalah kepada bukit biru menjulang gagah, siapakah anda?
Bertanyalah kepada gulungan-gulungan ombak di lautan, siapakah anda?
Bertanyalah kepada desau angina lembut, dan bahkan badai yang
menggelora, siapakah anda? Bertanyalah pada bunga tulip di pagi hari
ketika mekar bersama kejora dan fajar hari, siapakah anda? Bertanyalah
pada api yang membakar, dan seluruh enerji semesta, siapakah anda?
Ternyata semua menjawab serentak dalam "harmoni konser pesona":
"Sesungguhnya kami adalah fitnah, maka janganlah anda kufur!". Jawaban
yang meledakkan seluruh dirinya, merobek seluruh nafsu kita, mencekam
seluruh ketakutan, dan sekaligus mendendam kerinduan cinta kita.

Anda mau lari dari kenyataan? Lari dari gigitan paling pedih dari
kesunyian ruhani anda? Lari dari keterlemparan diri anda akibat dosa dan
kegelapan? "keinginanmu untuk lari menuju Tuhan dan hanya ingin sendiri
bersamaNya, hanya ingin "Anda dan Dia", sedangkan kenyatannya anda harus
menghadapi dengan alam fikiran, logika sebab akibat, hasrat anda itu
tadi hanyalah Nafsu tersembunyi dalam bilik ketololan, kemalasan,
ketidakberanian, kepengecutan, dan kelelahan hati anda.

Hadapilah! Karena Allah tak pernah hilang, tak pernah ghaib, tak pernah
berjarak, tak pernah bergerak atau diam, tak pernah berpenjuru atau
bernuansa, tak pernah berbentuk dan berupa, tak pernah berwaktu dan
ber-ruang. Tak ada alasan apa pun yang bisa menutup, menghijab,
menghalangi, menirai Allah dari dirimu, apalagi sekadar untuk
"Menyendiri bersamaNya" dalam hiruk pikuk dunia. Tanpa harus melepaskan
tantangan zaman, perjuangan, kegairahan kehambaan, kita tak pernah
terhalang sedetikpun untuk menggelayut di "PundakNya" apalagi bermesraan
dalam PelukanNya.

Jika ruang sunyi di hatimu terganggu oleh buar dan suara-suara nafsu,
masuklah ke dalam bilih ruhmu, karena dalam bilik ruhmu ada hamparan
agung Sirrmu, dimana sunyimu menjadi sirnamu kepadaNya, bahkan tak kau
sadari kau panggil-panggil NamaNya, karena kau telah berdiri di depan
GerbangNya. Kelak kita bisa kembali bersamaNya, untuk melihat dunia
nyata yang tampak di mata kepala, "BersamaNya aku melihat mereka,"
begitu sunyi ungkapan Abu Yazid Bisthamy kita.

/

Inilah awal kebarangkatan kita,
menuju tetapi dituju,
memandang tetapi dipandang,
melihat tetapi dilihat,
bergerak tetapi diam fana,
berkata tetapi bisu,
memanggil tetapi dipanggil,
bersyari'at tetapi hakikat,
berhakikat tetapi syari'at,
bertangis dalam senyuman
senyum tak menahan airmata
bersunyi-sunyi tetapi ramai
beramai-ramai tetapi sunyi

/

Lalu kita berbondong-bondong menempuh Jalan Khalwat, menuju Gua Agung
tak terperi, Hira' hamparan hati. Agar hati lebih luas dari Arasy Ilahi,
berbondong-bondong melepaskan atribut-atribut manusiawi, dan apa pun
alasan dan alibi kewajaran kita, agar kita tak punya alas an lagi, untuk
tidak durhaka kepadaNya, untuk tidak menghindariNya, untuk tidak
berselingkuh dengan selain DiriNya, untuk tidak memproduksi
bermilyar-milyar syetan setiap hari, untuk tidak menyembah ribuan
berhala dalam hati.

Kita keluar dari Khalwat menuju 'Uzlah Jiwa, lihatlah betapa sunyinya
keramaian peradaban manusia, betapa senyapnya suara-suara yang berdesing
atau bagaikan nyanyian tapi sunyi. Kecuali yang ramai di detak
jantungmu, Allah Allah Allah, Subhanallah Walhamdulillah wa-Laailaaha
Illallah Allahu Akbar, menyelimuti seluruh karamaian semesta. Sampai
semesta sunyi dalam kefanaan, Allahu Akbar! Walillahil Hamd. Maha
Puja-Puji bagi AbadiNya.

Deru mobil lalu lalang. Teriakan orang-orang lapar di jalanan atau di
pengasingan. Desing peluru menghantar peperangan. Kerut melipat kening
orang-orang di bursa saham. Murka para penguasa meneguhkan kesombongan.

Para koruptor berancang-ancang. Hukum semrawut di jalanan. Semua atas
nama kepentingan diri dan golongan. Dari Jakarta ke London, Jakarta ke
New York, Washingston ke tumpukan lembah debu di Palestina. Apakah ini
Jakarta atau hutan liar penuh raksasa dari penjuru dunia? Oh, lihatlah
bagaimana akibat orang-orang pendusta Tuhan.